Banda Aceh : Isu mengenai kewajiban kelahiran di Aceh bagi calon gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wali kota di Aceh sempat menjadi perbincangan hangat. Aturan ini sebelumnya diatur dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu di Aceh, yang mensyaratkan calon kepala daerah haruslah lahir di Aceh atau memiliki orang tua yang berasal dari Aceh. Namun, aturan tersebut akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2017 karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi.
Dasar Pembatalan dan Kontroversi Pembatalan aturan ini terjadi setelah berbagai pihak mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Menurut keputusan MA, syarat kelahiran di Aceh bagi calon kepala daerah dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, tanpa diskriminasi berdasarkan asal kelahiran. Dengan demikian, pembatasan tersebut dianggap melanggar prinsip kesetaraan yang diatur dalam konstitusi.
Selain itu, Mahkamah Agung juga menilai bahwa aturan lokal seperti Qanun tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Pemilu, yang memberikan kesempatan bagi semua warga negara Indonesia, dari manapun asal kelahirannya, untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh.
UU KIP Aceh dan Penerapannya "Aceh memang memiliki kekhususan dalam hal otonomi, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun yang mengatur berbagai hal terkait pemerintahan daerah, termasuk sistem politik lokal. Dalam UU ini, Aceh diberikan wewenang untuk mengatur pemilihan kepala daerah melalui Komisi Independen Pemilihan (KIP Aceh). Namun, kewenangan ini tetap harus berada dalam kerangka hukum nasional yang lebih tinggi.
UU KIP Aceh sendiri merupakan produk hukum lokal yang dirumuskan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan daerah dalam pelaksanaan pemilu. Meskipun demikian, UU ini tidak dapat bertentangan dengan UU Pemilu nasional. Dalam hal ini, aturan tentang syarat kelahiran dianggap tidak sejalan dengan asas kesetaraan dalam konstitusi nasional.
Pandangan Hasan Gurinci " Menurut Hasan Gurinci, tokoh asal Aceh Utara yang lahir pada 1 Juli 1977 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengawas Tipikor (LP Tipikor) Nusantara Kota Subulussalam, banyak masyarakat yang belum memahami Qanun secara benar. “Qanun itu tidak boleh bentrok dengan UUD 1945, karena dasar hukum tidak boleh diubah,” ungkap Hasan Gurinci dalam wawancaranya dengan Gurinci Media Pamor.
Hasan juga menekankan bahwa yang paling penting adalah domisili seseorang di Aceh. “Mereka yang sudah berdomisili di Aceh dan mengaku sebagai orang Aceh, itulah orang Aceh,” tambahnya. Hasan mengingatkan bahwa penting untuk memandang ke-Aceh-an seseorang dari keterikatannya dengan budaya, adat, dan partisipasinya dalam masyarakat Aceh, bukan hanya dari tempat kelahiran.
Mengapa Aturan Tidak Berlaku di Aceh? Alasan utama pembatalan aturan kelahiran sebagai syarat calon kepala daerah di Aceh adalah untuk menjaga keselarasan dengan peraturan nasional yang lebih tinggi, termasuk UUD 1945 dan UU Pemilu. Pembatasan yang didasarkan pada tempat kelahiran dinilai diskriminatif, dan dalam konteks negara kesatuan, semua warga negara harus memiliki hak yang sama tanpa memandang asal usulnya.
Aceh, meskipun memiliki otonomi khusus, tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tunduk pada hukum nasional. Oleh karena itu, aturan-aturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan hak asasi manusia, termasuk diskriminasi berdasarkan kelahiran, tidak dapat diberlakukan.
Implikasi Pembatalan "Dengan adanya keputusan Mahkamah Agung ini, calon kepala daerah di Aceh tidak lagi harus memenuhi syarat kelahiran di Aceh. Hal ini membuka peluang bagi putra-putri terbaik Aceh, tanpa melihat tempat kelahiran mereka, untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah. Keputusan ini juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik dan memberikan pilihan yang lebih luas bagi masyarakat Aceh dalam memilih pemimpin mereka.
Namun, pembatalan ini juga memunculkan beragam pandangan dari berbagai kalangan di Aceh. Sebagian pihak merasa bahwa aturan kelahiran penting untuk menjaga kearifan lokal dan kepemimpinan yang memahami secara mendalam budaya Aceh. Sementara itu, pihak lain mendukung keputusan ini sebagai langkah untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi setiap warga Aceh.
Harapan ke Depan " Meskipun aturan ini tidak lagi berlaku, semangat untuk membangun Aceh tetap menjadi prioritas bagi semua pihak. Harapannya, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin di Aceh, baik mereka yang lahir di Aceh atau tidak, tetap memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembatalan aturan ini menjadi pengingat bahwa dalam sistem hukum nasional, hak untuk memilih dan dipilih adalah hak fundamental yang dijamin bagi setiap warga negara tanpa memandang asal-usul mereka, dan hal ini juga berlaku di Aceh
(Hasan.gurinci/Kabiro Mediapamor)